Tingkat pertama dari nafs (amarah) adalah bagaikan Firaun yang sombong
dan lalim. Tidaklah cukup bahwa para Firaun Mesir merupakan penguasa
mutlak yang paling kuat dan memiliki peradaban yang paling maju di
muka bumi. Mereka juga harus disembah sebagai Tuhan. Hasrat akan
kekuasaan, pujian, dan bahkan pemujaan adalah ciri khas dari tingkat
nafs ini.
Rumi mengingatkan kita untuk memperlakukan Musa dan Firaun seakan-akan
hidup, sebuah kenyataan batiniah, dan tidak semata tokoh-tokoh sejarah
yang tidak relevan:
Cahaya Musa ada di sini dan kini, di dalam dirimu.
Pun Firaun. Lampu keramik dan sumbunya berubah,
Namun serupa cahayanya. Jika kau terus memperhatikan
Cerobong asap terawang yang melingkari nyala api,
Kau hanya akan melihat Yang Tak Satu, warna-warninya
Dan keragamannya. Perhatikanlah cahaya di dalam nyala api. Kaulah itu.
Pada satu sisi, kisah tentang Musa membebaskan Israel dari perbudakan
adalah sebuah alegori proses pembebasan diri kita dari nafs amarah.
Masing-masing kita memiliki Firaun di dalam diri kita, dan
masing-masing kita juga memiliki seorang Musa-seorang rasul suci yang
membawa kita dari perbudakan menuju kebebasan. Ingatlah bahwa Tuhan
bekerja melalui Musa, membawa kaum Israel kepada kebebasan. Karenanya,
kita harus menyadari bahwa kita membutuhkan bantuan Tuhan untuk
mengalahkan kekuatan dari nafs amarah kita. Masing-masing kita
memiliki Musa batiniah, dan kita harus merawatnya dan menghargai sang
pembebas, serta hamba Tuhan tersebut yang berada di dalam diri kita.
Di dalam sejarah Musa dan Firaun terkandung banyak pelajaran untuk
kita. Sebagai contoh, Musa harus mendatangi Firaun secara
berulang-ulang untuk memohon pembebasan kaum Israel. Firaun menyadari
kekuatan Ilahiah di dalam diri Musa dan menyetujuinya, lalu mengubah
pikirannya segera setelah Musa pergi. Kita juga telah meyakini
kebenaran prinsip-prinsip dan ide-ide spiritual, dan bersumpah untuk
menjalani hidup kita secara berbeda, dan kemudian kembali kepada
kebiasaan lama kita segera setelah menetapkan hati. Hal ini
memperlihatkan seolah-olah nafs amarah kita memiliki kekuatan untuk
menghipnotis kita dan membuat kita tak sadar kembali.
Suatu kali, di luar kendali Firaun, kaum Israel diperintahkan untuk
menyeberangi Laut Merah, kendati mereka merasa takut kalau-kalau laut
tersebut akan menenggelamkan mereka. Tindakan itu membutuhkan keimanan
dan keberanian yang kuat. Bayangkan diri Anda hidup sebagai seorang
budak, tanpa memiliki kekuasaan atau kendali atas kehidupan anda.
Kemudian tiba-tiba anda diperintahkan untuk menyeberangi lautan luas,
berjalan di atas dasar laut yang basah dengan air yang mengalir deras
di kedua sisinya, anda diperintahkan untuk yakin bahwa Tuhan yang baru
saja anda dengar akan menahan air tersebut untuk anda. Menurut satu
riwayat, Laut Merah tersebut tidak terbelah hingga seorang Israel
benar-benar menginjakkan kaki di dalamnya, dengan keyakinan bahwa ia
akan terbelah.
Tidaklah mudah untuk menghindar dari dominasi nafs amarah. Prosesnya
kadang menghadirkan rasa takut akan hal yang baru dan asing. Perubahan
sejati adalah proses membalikkan punggung kita dengan sungguh-sungguh
dan menjauh dari gaya hidup kita yang lama.
Kadang kebiasaan dan gaya hidup kita terdahulu tampak lebih unggul,
seperti halnya tentara Firaun yang jelas lebih unggul dari pada kaum
Israel. Tentara Mesir adalah yang terbaik di dunia, sementara kaum
Israel telah menjadi budak selama beberapa generasi dan sebagian besar
mereka belum pernah memegang senjata. Hal ini mewakili sebuah krisis
yang kerap muncul pada awal perubahan spiritual. Bagian dari psikis
kita ingin menarik kita kembali pada jalan kita yang lama dan nyaman,
serta memperingatkan kita bahwa jika kita tidak kembali, maka kita
akan hancur. Namun, begitu kita menginjakkan kaki kita dengan tulus ke
dalam Laut Merah perubahan, kebiasaan lama kita kehilangan kendali
atas diri kita. Melalui pertolongan Tuhan, apa yang begitu sangat
menarik pada masa lalu kehilangan daya tariknya.
Pada mulanya, kaum Israel tidak dapat memahami Musa maupun ajarannya.
Mereka bahkan harus membuat patung emas untuk disembah. Mereka juga
merupakan rakyat jelata yang tidak disiplin. Memerlukan tidak sedikit
waktu-dua generasi, atau empat puluh tahun di tengah padang pasir-
untuk melupakan mental budak mereka. Demikian pula dengan kita,
perubahan sejati memerlukan waktu. Kita mengawalinya dengan sejumlah
pemikiran, perasaan, dan perilaku yang tidak terpusat dan tidak
tertib. Hawa nafsu kita dan naluri mencintai kesenangan masih
merupakan kekuatan yang hebat di dalam diri kita. Hal tersebut bahkan
dapat dirasakan bagai empat puluh tahun di tengah padang pasir!
Empat puluh tahun ini, bagaimanapun, juga merupakan waktu untuk
mengasingkan diri dengan nabi mereka. Biasanya, seorang darwis
menghabiskan masa bertahun-tahun dengan syekh mereka, hidup bersama
dan belajar melalui kegiatan sehari-hari yang berbeda, dari berdoa
sampai dengan bekerja, berbelanja, mencuci, dan tugas duniawi lainnya.
Setiap aktivitas bisa jadi merupakan sebuah kesempatan untuk pelajaran
yang sangat mendalam. Syekh Safer suatu kali berkomentar bahwa ia
telah menghabiskan waktu empat belas tahun, siang dan malam, bersama
syekhnya. Ia kerap segera mengunjunginya sepulang kerja dan tinggal
sampai pada waktu ketika ia harus bekerja kembali.
Empat puluh tahun yang dihabiskan bersama Musa memberikan kesempatan
kaum Israel untuk transformasi yang dalam: dari budak tertindas
menjadi kaum beriman yang bebas. Pada satu sisi, mereka menikmati
empat puluh tahun pengasingan dengan Musa, bukan hanya dengan seorang
pembimbing spiritual, tetapi dengan salah seorang nabi Allah tercinta.
Sebuah tradisi sufi yang umum adalah empat puluh hari pengasingan,
yakni waktu untuk menjaga jarak dari dunia dan mendekati Tuhan,
seperti halnya Musa yang menghabiskan empat puluh hari di gunung Sinai.
Ketika kaum Israel mengeluhkan kemungkinan mereka menderita kelaparan
di padang pasir, Tuhan berfirman kepada Musa bahwa manna akan turun
dari surga sebagai makanan bagi mereka. Kaum Israel diharuskan untuk
mengambil persediaan makanan tersebut hanya untuk satu hari setiap
waktunya. Ini adalah ujian kedisiplinan dan keimanan mereka kepada
Tuhan sebagai pemberi nafkah. Ketika sebagian mereka mengumpulkan
manna secara berlebihan dan menyimpannya, maka manna tersebut menjadi
basi dan dipenuhi dengan belatung-sebuah teguran nyata akan bahaya
keserakahan dan sikap berlebihan.
Secara psikologis sangat signifikan bahwa empat puluh tahun mewakili
dua generasi. Pada akhir pengasingan mereka di padang pasir, sebagian
besar mereka yang memasuki tanah Kanaan tidak pernah mengenal
perbudakan. Kehidupan satu-satunya yang mereka ketahui adalah
kehidupan bersama dengan nabi mereka. Begitu juga dengan pemikiran dan
prilaku lama kita yang secara perlahan-lahan dapat digantikan dengan
yang baru dan lebih sehat.
Rabu, 19 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar